Irina Among Praja: Melihat Barak dan Memutuskan Menjadi Pengajar
*Kustiah- www.Konde.co
Tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Irina Among Praja, 59 tahun, jika di suatu hari dirinya akan berkecimpung di dunia pendidikan. Padahal, bercita-cita pun tidak.
Semenjak kecil orang tuanya sudah mengarahkan Ina, panggilan akrabnya, untuk menjadi seorang dokter. Mulai dari mainan hingga doktrin sudah ia terima dari orang tuanya bahwa tak ada profesi yang lebih baik dan mulia selain menjadi dokter. Dan benarlah Ina kemudian benar-benar berprofesi sebagai dokter.
Namun, jalan hidup seseorang siapa yang tahu. Setelah menjadi dokter di Rumah Sakit ST Carolus, Salemba hampir 16 tahun Irina justru meninggalkan profesinya. Dan menjadi seorang 'guru' yang tidak pernah ia bayangkan dan impikan.
"Kalau saya suka (dunia pendidikan) mungkin saya sudah mengambil sekolah di IKIP bukan di kedokteran," ujarnya kepada penulis belum lama ini.
Barak-Barak yang Membuatku Berubah
Perubahan perjalanan hidupnya dimulai pada tahun 2001. Ketika ia sering mengunjungi para transmigran yang tinggal di barak penampungan kantor wilayah DKI Transito, Pondok Kelapa, Jakarta Timur untuk memeriksa kesehatan.
Para transmigran yang jumlahnya ratusan kepala keluarga ini ditarik ke Jakarta karena daerah yang mereka tempati terjadi konflik, salah satunya Aceh.
Para transmigran akhirnya terpaksa menunggu penempatan ulang dari pemerintah dan sebagian menunggu uang penggantian kerugian bagi yang tidak melanjutkan transmigrasi. Sebagai dokter, Ina merasa terpanggil untuk mengetahui kondisi kesehatan para transmigran dan anak-anaknya secara sukarela.
Tetapi, rutinitas Ina berubah saat melihat banyak anak di barak ini tak sekolah dan tak punya kegiatan. Ina akhirnya berinisiatif membuat kelompok belajar bersama. Kegiatannya macam-macam, mulai mendongeng, bermain, atau sekadar mendengar anak-anak saling bercerita.
Kelompok belajar ini diikuti sekitar 100 lebih anak transmigran. Dan rupanya anak-anak pemulung yang tinggal tak jauh dari barak Transito tertarik bergabung. Satu per-satu mereka ikut kegiatan kelompok belajar hingga akhirnya berjumlah puluhan anak.
Namun, kegiatan belajar dan bermain ini hanya berlangsung selama tiga tahun. Karena, para transmigran telah ditempatkan ke daerah-daerah transmigrasi dan sebagian pulang ke kampung halaman. Tinggalah anak-anak pemulung yang tersisa. Merasa kasihan karena anak-anak ini sejak awal memang tak pernah mencecap bangku sekolahan Ina memutuskan melanjutkan kegiatan kelompok belajar. Apalagi anak-anak terlihat antusias dan memiliki semangat belajar yang tinggi.
Seiring perginya para transmigran saat itu pula Transito melarang bangunannya digunakan sebagai tempat belajar mengajar.
Pada tahun 2004, bahkan kelompok belajar dan bermain ini 'diusir' oleh petugas Kanwil Transito dan pindah ke emperan masjid di kompleks Transito. Di emperan pun tak berlangsung lama karena diusir kembali oleh petugas dengan alasan ketertiban
Menyewa Ruko untuk Belajar
Ina akhirnya menyewa sebuah ruko yang lokasinya masih di Pondok Kelapa tak jauh dari tempat anak-anak pemulung tinggal. Selama proses belajar dan bermain di ruko Ina mendapatkan kabar menyenangkan. Ia bersama anak-anak diizinkan menggunakan gedung Pusat Kegiatan Belajar Mengajar di Pondok Kelapa oleh Kepala Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Kodya Jakarta Timur.
Namun, masalah kembali mendera. Ketenangan hanya berlangsung tak sampai dua tahun. Pada 2006 Ina kembali 'diusir'. Padahal sejumlah gedung telah ia perbaiki. Bukan hanya kecewa Ina merasa dipermainkan karena dalam pembicaraan awal dirinya diizinkan menempati gedung selama lima tahun. Tapi, belum sampai dua tahun ia dan anak-anak didiknya diusir tiba-tiba. (Bersambung)
(Foto: Youtube.com)
*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com. Saat ini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Post a Comment