Header Ads

Hidup Sebagai Transgender (2)


Poedjiati Tan- www.Konde.co

Sebtulnya saat-saat terpenting dan krusial bagi transgender laki-laki adalah ketika mereka mulai memasuki masa puber atau akil balik. Dimana terjadi perubahan fisik pada tubuh mereka. Mulai tumbuhnya payudara, mulai mengalami menstruasi. Dimana sebelumnya mereka merasa bahwa dirinya adalah laki-laki.

Mereka tidak lagi bisa berperilaku seperti anak-anak laki-laki seperti waktu mereka kecil. Mungkin ketika mereka anak-anak dan berpenampilan seperti laki-laki, keluarga menganggap itu hanya tomboy dan dianggap biasa. Tetapi ketika mereka mulai masuk puberitas, mereka mulai mengalami masa-masa sulit.

Di dalam keluarga mulai ada perlakuan berbeda ketika anak perempuan mulai tumbuh payudara dan menstruasi. Mereka mulai dibatasi dan diminta melakukan tugas gendernya dan disinilah perasaan bahwa mereka berada di tubuh yang salah mulai muncul dan mengganggu perasaan mereka.

Tidak hanya di dalam rumah dan di keluarga, di dalam pergaulan dengan teman sebaya atau di sekolah, mereka juga mengalami perubahan. Mereka tidak lagi bisa bebas bermain dengan teman laki-laki seperti ketika masih kank-kanak.

Kadang perubahan fisik ini membuat anak-anak transgender menjadi tidak percaya diri, malu dengan tubuhnya dan berusaha menutupinya.

Perubahan tubuh, tekanan keluarga untuk menjalankan tugas gendernya membuat transgender muda tumbuh dengan ketidakpastian dan kebingungan. Mungkin untuk remaja yang sudah terbiasa dengan internet akan lebih muda menemukan informasi tapi bagaimana dengan transgender yang tinggal jauh dari teknologi dan komunitas? Tentu tekanannya akan lebih besar dan berdampak pada perkembangan dirinya.

Di Indonesia ada banyak trangender muda yang ingin melakukan penyesuaian dan mulai mencoba dengan terapi hormon. Tapi ada juga yang tidak ingin melakukannya. Tidak semua Transgender laki-laki melakukan penyesuaian kelamin atau melakukan terapi hormon. Ada yang dapat menerima tubuhnya dan tetap merasa dirinya adalah laki-laki dan menghayati hidupnya sebagai laki-laki.

Namun diskriminasi yang mereka rasakan biasanya lebih dari yang diduga. Banyak orang yang tak siap menerima mereka, kemudian ada yang mengucilkan dan mengasingkan. Inilah tahapan diskriminasi paling sulit yang dialami. Bahkan salah seorang teman mengatakan bahwa jika anda menjadi transmen atau transwomen, jangan sekalipun menyatakan hal itu di depan umum. Ada banyak kisah yang justru ketika kita secara jujur mengakui sebagai transwomen atau transmen, justru membuat kita kehilangan banyak hal.

Ada yang harus kehilangan pekerjaan karena menyatakan diri sebagai transwomen. Ada yang kehilangan teman, keluarga, rasa malu di tempat umum ketika mereka mengatakan sebagai transmen atau transwomen. Pilihan-pilihan sulit inilah yang membuat orang tak mampu untuk mengatakan secara jujur atas sejumlah pilihan. Mengatakan apa yang kita pilihpun sulit, bagaimana jika kita meminta lebih: meminta orang lain menerima kita apa adanya misalnya? 

Bila para orang tua atau lingkungan sekolah mengerti tentang transgender misalnya, maka mereka akan bisa ‘menangani’ dengan lebih tepat. Misalnya memberikan kebebasan mereka untuk menggunakan seragam perempuan atau laki-laki. Ketika mereka berumur 17 tahun dan harus membuat identitas diri, mereka bisa memilih untuk ditulis sebagai laki-laki, perempuan, transgender atau priawan. Begitu pula ketika mereka harus mulai mencari pekerjaan. Mereka tidak lagi dilihat di sex biologi atau gender tapi kemampuannya yang menjadi pertimbangannya.

Namun dunia memang tak selebar daun kelor. Begitu juga status mereka. Tak banyak yang bisa menerima transgender. Padahal dunia begitu luas, samudera begitu luas, namun apa daya, kondisi ini masih terus terjadi.

Tak ada kata lain selain berjuang (Selesai).


Reference :
-          Lewins, F. (1995). Transsexualism in society: A sociology of male-to- female transsexuals. Melbourne, Australia: Macmillan.
-          Rubin, H. (2003). Self-made men: Identity and embodiment among transsexual men. Nashville, TN: Vanderbilt University Press

foto : Daniel Arzola

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.