Header Ads

Ibu Para Mantan Pecandu


Kustiah-www.Konde.co

Bukan perkara mudah mendekati mantan narapidana kasus narkoba atau mantan pecandu narkoba. Apalagi mengajak mereka melupakan kehidupan kelamnya dan mengajak berwirausaha. Tapi inilah yang dikerjakan Etty Lasmini, 58 tahun. Janda enam anak ini melakukan hal yang mungkin bagi orang lain dianggap sulit.


Menemukan Etty di Kawasan Ekonomi Sulit


Menemukan rumah Etty yang ada di RT 01 RW 04 Kelurahan Tegal parang, di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan sebenarnya tak terlalu sulit. Apalagi warga yang ada di setiap gang yang kami temui  mengenal dan mengetahui rumah Etty.

Tetapi, hari itu, beberapa waktu lalu ketika saya mendatangi rumah kontrakannya hujan turun sangat deras yang mengakibatkan jalan di gang-gang tergenang air setinggi 40 sentimeter lebih. Sehingga saya akhirnya harus berjalan memutar dan menempuh perjalanan lebih jauh menuju rumah Etty.

Lokasi RT yang dipimpin Etty selama lima periode atau sekitar 13 tahun ini diapit jalan besar, Jalan Gatot Soebroto dan Jalan Mampang. Juga gedung-gedung tinggi dan mewah. Namun, jangan mengira warga yang tinggal di sekitarnya ikut merasakan dan menikmati pembangunan. Justru warga Kelurahan Tegal Parang ini banyak yang mengalami kesulitan ekonomi. Menurut Etty,  sebagian besar warganya bekerja sebagai tukang bangunan, pemulung, penjual rongsok, dan beberapa menjadi tukang jagal sapi.

Dulu, kata Etty, di depan gang dipasang plang besar bertuliskan Selamat Datang di Kawasan Elite Cinta Damai.

"Maksudnya, Selamat Datang di Kawasan Ekonomi Sulit Cinta Damai,” ujar Etty kepada penulis seraya terbahak.

Saking sulitnya banyak warga yang memilih jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan. Caranya dengan menjadi pengedar narkoba. Etty menghitung hampir 10 persen warganya adalah mantan pengedar, pengguna dan penghuni lapas untuk kasus narkoba. Kondisi inilah yang membuat kampungnya pernah dijuluki  Badan Narkotika Nasional sebagai kawasan terbesar kedua yang menjadi peredaran narkoba setelah Kampung Ambon.

 Etty bercerita, sudah banyak warganya yang meninggal akibat mengonsumsi narkoba dan menjadi penghuni lapas.

Awalnya, sebelum menjadi pengguna warga menjadi pengedar terlebih dahulu karena diiming-imingi komisi yang tak sedikit.

Prihatin melihat kondisi warganya Etty nekat mendekati mereka. Cibiran, kecaman, dan ditolak saat mendatangi rumah warga yang bermasalah sudah biasa Etty hadapi.

"Saya tak peduli. Meskipun dimusuhi sekalipun," katanya.

Sekali, dua kali hingga berkali-kali perlahan akhirnya warga mau membuka diri. Ajakan Etty sederhana. Jika ingin cepat mati mereka tak perlu berubah. Tetapi jika ingin berumur panjang hidup tenang bersama keluarga, maka berwirausahalah. Etty mengajak mereka berwirausaha kerupuk kulit seperti yang ia lakoni selama ini.

Menurutnya, usaha itu tidak terlalu sulit jika ada kemauan. Apalagi Etty memiliki jaringan dan dekat dengan para pengusaha kerupuk kulit. Jika mau membuka produksi atau cukup hanya berdagang kerupuk kulit Etty bisa dengan sangat mudah membimbingnya.

"Kalau sumber masalahnya selama ini kesulitan ekonomi, maka solusinya ya memberi mereka pekerjaan," ujarnya.

Kini, warga binaan Etty di daerah Mampang sekitarnya telah mencapai 100 orang lebih. Sejumlah warga binannya bahkan telah berani mengikuti berbagai pameran untuk menjual dan mempromosikan dagangannya.

Dengan langkahnya yang berani dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib orang lain orang mungkin menyangka Etty orang kaya dan cukup berada. Ibu lulusan sekolah dasar ini mengaku sering dicibir salah satunya karena kondisi ekonominya sendiri yang tak pernah serba kecukupan. Bahkan, dulu ketika masih hidup suaminya sering komplain ke Etty untuk tak terlalu memikirkan nasib orang lain.

"Genteng sendiri aja masih bocor, untuk apa memikirkan orang lain yang susah," kata Etty mengenang ucapan suaminya.


Membantu Membangun Bisnis bagi Mantan Pecandu

Etty mahfhum dan tak menyangkal yang dikatakan suaminya. Karena, ia dan keluarganya sendiri masih menghuni rumah pinjaman dari Yayasan Sekolah 28 Oktober sejak 90 an hingga 2013. Dan pindah mengontrak tak jauh dari rumah sebelumnya. Sejak usaha jagal suaminya bangkrut pada tahun 89 an Etty dan keluarganya tinggal menumpang. Karena rumah yang ia beli bersama suaminya terjual ludes.

"Tapi prinsip saya, rezeki itu tidak harus selalu diukur dengan uang. Kesempatan, kebaikan, dan dipertemukan dengan banyak orang itupun sudah merupakan rezeki," ujarnya.

Masa jaya usaha suami Etty diakui Suparno (62), salah satu pengusaha kerupuk kulit yang tinggal di Kawasan Warung Buncit. Suparno mengatakan di era tahun 80 an Madani, suami Etty terkenal sebagai tukang jagal dan suplier kulit sapi terbesar dari kawasan Mampang. Sebagian besar pengusaha kerupuk kulit bahannya disuplai oleh Madani.

"Semua pedagang kerupuk kulit kenal Madani dan tahu siapa dia," ujarnya.

Tapi itu dulu. Etty mengenang, dari kesulitan yang dihadapi itulah ia bisa berempati ikut memikirkan nasib orang lain. Hidup serba kekurangan seringkali ia rasakan.

”Karena saya miskin, maka saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan,” katanya.
 
Etty merasa apa yang ia lakukan tak sia-sia. Karena sebagian besar warga binaannya berhasil membangun bisnis atau membuat usaha lain. Meskipun kondisi sendiri juga tak lebih baik Etty tak berkecil hati. Hingga kini ia masih mengontrak di sebuah rumah bertipe 21 di gang sempit di Kawasan Mampang Prapatan, tak jauh dari rumah yang ia tempati sebelumnya

Ia cukup bahagia bisa membantu orang lain keluar dari kesulitan. Apalagi ia juga bisa membuktikan dan memberikan teladan kepada warga binaannya bahwa dengan usaha kerupuk kulit dan keripik tempe, Ia bisa menyekolahkan kelima anaknya sampai jenjang perguruan tinggi.


Kustiah, mantan jurnalis Detik.com. Kini pengelola www.Konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.