Kelompok Buruh: Revisi UU Ketenagakerjaan Versi Pengusaha Akan Merugikan Buruh Perempuan
*Melly Setyawati- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Beberapa minggu sebelumnya, para pekerja dan buruh berkumpul, sangat intens melakukan rapat. Rapat ini untuk melakukan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan 13/ 2003 versi dari pengusaha.
Begitu pula para perempuan aktivis buruh, Dian Septi Trisnanti dari Federasi Buruh Lintas Pabrik FBLP, Jumisih dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia KPBI, Nining Elitos Kasbi.
Usulan revisi yang dimotori oleh pengusaha terhadap Undang-undang yang mengatur ratusan juta kaum buruh di Indonesia ini dipandang mengarah pada kondisi yang semakin merugikan kaum buruh dan memiskinkan kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya buruh perempuan.
Maka Rabu 10 Juli 2019 kemarin, sejumlah serikat buruh yang tergabung dalam Gebrak melakukan konferensi pers untuk menolak revisi UU Ketenagakerjaan versi pengusaha. Ada Dian Septi, Nining Elitos disana.
Beberapa narasi yang janggal itu terdapat dalam revisi uu ketenagakerjaan versi pengusaha, misalnya pekerja seharusnya merupakan pihak yang diajak pertama kali bicara, bukan mendengarkan usulan pengusaha. Sebab, UU Ketenagakerjaan adalah UU-nya buruh, bukan UU-nya pengusaha.
“Kelompok buruh melihat ada kejanggalan besar atas rencana revisi ini karena pemerintah mendengarkan dan memfasilitasi keinginan pengusaha yang selama ini merupakan pihak yang paling sering melanggar hak-hak kaum buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan,” Ujar Dian Septi.
Sebagai gambaran, Data Survei Angkatan Kerja Nasional pada 2008 menunjukkan 66 persen buruh tidak mendapat pesangon sama sekali, 27 persen buruh menerima pesangon lebih kecil dari aturan.
Laporan Tren Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia selama 2014-2015 dari International Labor Organization (ILO) juga menyimpulkan bahwa 60 persen buruh dibayar di bawah upah minimum. Bahkan di Jakarta, Gabungan Organisasi Buruh yang tergabung dalam Gebrak masih menemukan buruh-buruh yang mendapat upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) di industri formal.
Pada Agustus 2016, ILO bahkan menyebut 40 persen buruh garmen tidak mendapatkan upah minimum. Upaya pengusaha sebagai pembisik utama langkah pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan jelas bertujuan untuk melegalkan tindak pelanggaran yang selama ini dilakukan oleh pengusaha.
Terkait dengan sikap pemerintah yang terkesan mendukung usulan revisi ini, kelompok buruh justru melihat usulan revisi selama ini bertentangan dengan upaya untuk menyongsong industri 4.0.
Spesialis Senior Regional tentang pengupahan International Labour Organization (ILO) Daniel Kostzer malah menyebutkan upah di Indonesia tidak boleh terlalu rendah untuk menuju industri 4.0. Sebab, upah murah mendorong investasi pada produksi yang berteknologi rendah.
Selain itu, banyaknya pasal-pasal yang diuji materikan di Mahkamah Konstitusi juga seharusnya tidak menjadi persoalan. Sebab, sejumlah uji materi itu malahan memperkuat perlindungan buruh. Di antaranya adalah uji materi yang menggugurkan pasal Pemutusan Hubungan Kerja PHK karena kesalahan berat sebelum dibuktikan di pengadilan dan uji materi yang mewajibkan pengusaha membayar upah proses. Justru, persoalan terletak pada pelaksanaan oleh pemerintah atas putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Revisi UUK Memiskinkan Rakyat
Buruh melihat usulan-usulan revisi pengusaha, yang tampaknya begitu diakomodir pemerintah, mengarah pada pemiskinan buruh secara khusus dan rakyat secara umum. Pemiskinan ini muncul melalui pelanggengan politik upah murah terutama bagi buruh padat karya.
Padahal, upah minimum sendiri, merupakan jaring pengaman untuk kesejahteraan buruh. Selain buruh, besaran upah minimum juga berpengaruh signifikan pada perekonomian riil di lingkungan buruh.
Sebab, upah minimum yang rendah akan membunuh daya beli buruh yang sekaligus mematikan ekonomi riil di kalangan bawah. Rakyat juga turut menjadi korban kebijakan upah murah karena upah buruh juga menopang anak-anak bangsa. Bahkan, di negara tanpa jaminan pensiun memadai seperti Indonesia, upah buruh turut menyokong kesejahteraan warga negara senior.
Selain poin upah minimum, buruh melihat usulan perluasan kontrak dan outsourcing yang diusung oleh pengusaha semakin menjauhkan rakyat dari kepastian kerja. Pengusaha ingin memperluas kontrak dan outsourcing sesungguhnya lebih pada kepentingan mengeruk laba sebesar-besarnya. Jika permintaan revisi ini dikabulkan, buruh akan menjadi bulan-bulanan perusahaan outsourcing dan semakin mudah dipecat sewaktu-waktu. Lantas, apakah pemerintah akan menanggung biaya hidup keluarga buruh ketika mencari pekerjaan berikutnya? Jelas rezim pasar kerja yang makin fleksibel ini akan semakin meningkatkan kemiskinan.
Sementara itu, usulan pengusaha dan pemerintah untuk menghapus atau menguragi pesangon diyakini oleh kaum buruh sebagai cara untuk menghapus kepastian kerja dan untuk semakin menurunkan daya tawar buruh di hadapan pengusaha. Hilangnya pesangon mesti dilihat juga sebagai hilangnya jaminan kerja karena pekerja bisa setiap saat dipecat dengan mudah. hilangnya juga kepastian kerja karena status pekerja tetap jadi sia-sia karena tidak akan berbeda dengan karyawan kontrak (PKWT).
Jika diperhatikan usulan penghapusan/pengurangan pesangon ini lebih mengabdi pada upaya untuk menghapus sistem karyawan tetap dan menerapkan sistem kontrak dan outsourcing secara lebih massif. Usulan revisi lain yang diusung oleh pengusaha adalah hak mogok yang semakin dibatasi dan sekaligus memberi peluang untuk memaksa buruh mengganti kerugian. Usulan ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari hak-hak buruh yang berlaku universal. Upaya membuat lemahnya daya tawar kaum buruh ini akan berbuntut pada menurunnya kondisi kerja, lingkungan kerja yang semakin riskan kecelakaan, hak-hak buruh perempuan (cuti hamil dan haid) yang semakin sulit diakses, dan keanggotaan serikat yang semakin berkurang.
Jika pemerintah dan DPR bersikukuh untuk meneruskan upaya revisi ini maka Gerakan Buruh Bersama Rakyat bersama dengan segenap organisasi buruh lain yang memiliki sikap menolak revisi UUK , akan melakukan perlawanan semaksimal mungkin. Perlawanan ini adalah jawaban atas upaya pengusaha dan pemerintah yang ingin menghapuskan hal-hal yang sangat menentukan bagi kesejahteraan buruh dan rakyat ke depan. Gebrak juga mengajak dan menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk bersama-sama menolak upaya revisi UUK ala pengusaha dan pemerintah ini.
Gebrak merupakan gabungan organisasi buruh, pemuda, mahasiswa, petani, dan perempuan. Anggota Gebrak di antaranya adalah Konfederasi KASBI, KPBI, KSN, LBH Jakarta, KPA, Jaringan Komunikasi SP Perbankan, SP Johnson, Pergerakan Pelaut Indonesia, LMND, FMK, SINDIKASI, Serikat Pekerja JICT.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment