Header Ads

Poster Adalah Alat Kampanye Penting, Jangan Melanggengkan Mitos Perempuan


Poedjiati Tan- www.Konde.co

Dua minggu lalu kita disibukkan dengan poster yang tiba-tiba dikeluarkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Saya membaca dengan cermat ketika poster ini mulai diprotes di sosial media.

Beberapa tulisan dalam poster pada 25 Mei 2019 di instagram tersebut berbunyi:

“Istri idaman adalah yang agamanya sama, taat beribadah, sopan, perhatian dan cara berpakaian, bertanggungjawab, bisa akrab dengan keluarga pria, penampilan yang baik, cerdas, mandiri.”

Dengan mengambil judul: istri idaman, istri yang beruntung, poster ini kemudian mendomestifikasi perempuan dan melakukan konstruksi buruk terhadap perempuan. Konten-konten ini menggambarkan bahwa perempuan adalah obyek yang harus diatur yaitu cara berpakaiannya, penampilannya.

Poster lain juga menunjukkan bahwa perempuan bekerja di domestik sedangkan laki-laki sudah diatur bekerja di publik dengan sejumlah stereotype lain yang melekat pada perempuan.

Sekitar 87 organisasi dan sejumlah individu kemudian melakukan protes keras atas poster tersebut. Sejumlah poster ini dianggap sangat subyektif, menegaskan mitos tentang perempuan serta melanggengkan stereotipe gender

Poster adalah salah satu alat komunikasi yang mempunyai kelebihan. Poster sifatnya komunikatif, cepat untuk dibaca dan dimengerti. Poster juga menarik karena pesannya singkat dan mudah dimengerti. Di zaman sekarang dimana semua orang sibuk bermedia, poster menjadi alat kampanye yang efektif karena menarik dan mudah dimengerti.

Sebagai alat komunikasi dan menjadi bagian dari perjuangan literasi, seharusnya poster bisa memberikan pendidikan bagi publik. Tentu pendidikan yang tak melecehkan perempuan, tidak mendomestifikasi perempuan dan tidak menyebarkan mitos subyektif.

Tujuan media menurut salah satu ahli komunikasi Denis McQuail adalah memberikan pelayanan informasi isu-isu dan problem universal, tidak sektoral dan primordial. Selain itu mengembangkan budaya interaksi yang pluralistik, untuk penguatan eksistensi kelompok minoritas dalam masyarakat dan memfasilitasi atas proses menyelesaikan masalah.

Jika yang terjadi adalah praktek komunikasi yang bias gender, ini malah kemudian mengajak masyarakat untuk tidak keluar dari persoalannya, tidak kritis terhadap lingkungannya. Padahal seharusnya tulisan atau poster seharusnya memberikan ruang untuk bertindak secara politik.

Bagi feminis, literasi kemudian digunakan sebagai kritik untuk melihat naskah-naskah yang patriarkhi dan tidak berpihak pada perempuan. Kritik sastra feminis misalnya digunakan untuk mendekonstruksi politik patriarkhi yang sebagaimana sering direpresentasikan dalam tulisan-tulisan atau bahasa yang misoginis atau membenci perempuan.

Poster sebagaimana kelahirannya sebagai salah satu alat komunikasi, hendaknya tidak berargumen sebagai sesuatu yang justru malah melanggar instrumen yang telah ada di Indonesia, dalam hal ini misalnya Undang-Undang Pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, UU Perkawinan, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan Anak.

Undang-undang ini sudah lahir untuk membela perempuan agar keluar dari mitos, subyektifikasi dan kekerasan yang membelenggu perempuan.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.