Bagaimana Makna Homoseksualitas dalam Agama Kristen: Sebuah Perdebatan
*Kustiah- www.Konde.co
Pernyataan Yonky Karman, dosen Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta dalam pengantarnya di buku "Homoseksualitas dan Kekristenan, Sebuah Perdebatan" cukup menarik untuk direnungkan.
Di antara hiruk pikuk penolakan terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/ Biseksual) Yonky mengajak (untuk tidak dikatakan menyuruh) bersama menempatkan saudara kita yang LGBT dalam kehidupan bermasyarakat, untuk menghormati keberadaan LGBT seperti halnya manusia lain.
"Apabila gereja melihat kaum LGBT sebagai tercipta menurut citra Allah, gereja memiliki tanggung jawab untuk menolong mereka hidup bermartabat menurut kodratnya itu. Apabila negara melihat LGBT sebagai warga negara, maka negara memiliki tanggung jawab untuk menolong mereka hidup bermartabat menurut status hukumnya itu."
Yang dikatakan Yonky bukan tanpa dasar. Selama ini ia melihat kaum LGBT di Indonesia masih menghadapi banyak kendala untuk sekadar hidup laiknya warga negara berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Sebagian dari mereka masih hidup di bawah bayang-bayang stigma negatif yang kuat sehingga rentan terdiskriminasi. Pun di gereja, jika jemaat terendus (menjadi seorang LGBT), ia akan menjadi bahan pergunjingan dan tak jarang mendapat tekanan sosial dan dihakimi.
Hal ini menjadi pembicaraan penting dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul : “Homoseksualitas dan Kekristenan, Sebuah Perdebatan” terbitan Bentara pada Mei 2019 lalu di Jakarta.
Pendapat yang sama disampaikan pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo. Menurut Dede, pendidikan seksualitas masyarakat Indonesia masih memprihatinkan. Hal itu diindikasikan dari mereka yang menganggap LGBT sebagai manusia abnormal. Bukan sebagai manusia yang memiliki orientasi seksual berbeda.
"Mereka bilang LGBT itu sejenis penyakit yang harus diobati, korban kekerasan seksual di masa lampau, atau pengaruh lingkungan dan masih banyak stigma negatif yang kami terima akibat pemahaman yang keliru," ujar Dede dalam diskusi peluncuran dan bedah buku "Homoseksualitas dan Kekristenan, Sebuah Perdebatan" di Jakarta, Sabtu (18/5).
Pegiat HAM Yuyun Wahyuningrum, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) periode 2019-2021 mengatakan, diskriminasi tidak boleh ada berdasarkan gender, orientasi seksual dan atau atas alasan apa pun.
Adapun dalam kasus LGBT, ia menyebut bahwa LGBT menjadi kelompok minoritas seksual. Dan dari perspektif HAM, menurut Yuyun, minoritas itu diperlukan. Karena, kebijakan negara sama dengan penggunaan istilah disable, bukan difable. Artinya, penggunaan kata minoritas untuk memberikan tugas kepada negara supaya yang disebut minoritas bisa setara dengan yang mayoritas.
"Minoritas bisa berarti jumlah, tapi juga bisa berarti konsep," ujarnya. Ia mengakui perjuangannya menyuarakan minoritas seperti LGBT di tingkat ASEAN tidaklah mudah. Apalagi pernah terjadi kontroversi yakni sikap pemerintah Brunei Darusalam yang berencana menghukum mati LGBT meski kemudian direvisi dan keputusan itu ditangguhkan.
"Jangankan di ASEAN, di dalam sendiri (di pemerintahan) pandangan soal LGBT saja kita masih belum selesai. Jadi memang bukan perkara mudah. Tetapi, kita harus berjuang dan tetap optimistis dalam memperjuangkan penegakan HAM, " kata Yuyun.
UU Pernikahan Sesama Jenis di Taiwan dan Gereja Memandang LGBT
Undang-undang pernikahan sesama jenis yang disahkan di Taiwan Jumat (17/5) seharusnya bisa menjadi angin segar bagi para aktivis LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender/biseksual) di dunia, termasuk di Indonesia. Setidaknya di Asia telah ada satu negara yang mengakui keberadaan LGBT dengan memiliki payung hukum.Taiwan menjadi satu-satunya negara di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis.
Untuk menjadi negara seperti Taiwan yang mengakui keberadaan LGBT dan memiliki UU pernikahan sesama jenis meman bukan perkara mudah diterapkan. Meski menurut Dede Indonesia menjadi negara dengan gerakan LGBT ketiga terbesar di dunia, justru sikap sebagian besar masyarakat cenderung menunjukkan penolakan terhadap LGBT. Begitu juga dalam ruang ibadah seperti gereja.
Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi, Juswantori Ichwan mengatakan, seharusnya gereja menjadi tempat aman bagi siapa saja. Pun LGBT. Karena, Tuhan Yesus dalam kitab-kitabnya tidak pernah menyinggung soal LGBT. Gereja seharusnya menjadi tempat aman, tempat kudus bagi LGBT.
"Yang dilarang Tuhan kan kebejatan seksual yang menggunakan hawa nafsu. Dan seksualitas sendiri pemberian Allah. LGBT bukan penyakit dan dia nyata ada di tengah-tengah kita, " kata Pendeta Juswantori.
Jika gereja tidak bisa menjadi ruang aman bagi LGBT, lanjut Juswantori, berarti ada yang keliru di gereja itu sendiri. Karena, yang diharapkan LGBT, sebagai makhluk Tuhan, mereka diterima laiknya manusia lainnya.
Lulusan program studi doktoral dari St Stephen's College, University of Alberta, Edmonton, Canada ini mengatakan, di Indonesia LGBT menjadi kelompok minoritas seksual. Dan di geraja khususnya, topik LGBT dianggap tabu sehingga tidak pernah diangkat di permukaan dan tidak pernah dibahas. Akibatnya, karena ketertutupan dan menganggap LGBT sebagai hal yang tabu, masyarakat menganggap LGBT tidak ada.
“LGBT dianggap hidden community. Berbeda dengan di luar negeri. Masyarakat di Eropa memiliki pemahaman yang luas tentang gender. Sementara di Indonesia, masyarakat tidak hanya memiliki pemahaman yang sempit tentanggjender, tetapi juga menutup diri salah satunya dengan cara misal memboikot film-film soal gender dan menutup diri untuk berdiskusi.
"Bagaimana bisa maju, pemahaman tentang jender saja minim dan pemahamannya biner, hitam putih, " ujarnya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Kustiah, Setelah menjadi jurnalis di Detik.com dan Jurnal Nasional, saat ini Kustiah menjadi pengelola www.Konde.co
Post a Comment