Header Ads

Jaringan Solidaritas Korban: Jangan Berikan Panggung pada Pelaku Kekerasan Seksual


Poedjiati Tan – www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Masih ingat kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang penyair Indonesia berinisial SS?

Sudah hampir 6 tahun berjalan laporan terhadap pelaku SS dilayangkan ke Kepolisian RI, status SS juga telah menjadi tersangka, tetapi perjuangan menuju pengadilan masih sedemikian berat.

Tim pendamping korban, RW dari Universitas Indonesia juga menemukan adanya dua korban lain selain RW yang tidak mau disebutkan namanya. Ini artinya tidak hanya RW yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan SS, namun diduga ada 2 perempuan lainnya.

Sampai saat ini, menurut jaringan advokasi baik dari pengacara maupun solidaritas mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, informasinya berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kasus RW sudah bolak balik masuk di kepolisian dan kejaksaan, namun hingga sekarang tidak ada kepastian.

Kemudian, pada 27-28 April 2019, tersangka kekerasan seksual SS, justru menjadi bagian dari penulis pentas/ penyelenggaraan pentas teater Srinthil, yang juga bekerjasama dengan beberapa seniman yang menyewa tempat di Komunitas Salihara, Jakarta.

Acara ini bukanlah acara pertama yang melibatkan SS sebagai kolaborator. Di tengah ketidakjelasan penyelesaian kasus, SS masih terlibat di banyak kegiatan kesenian baik sebagai seniman utama maupun pendukung, termasuk satu festival di Yogyakarta yang akan digelar pada pertengahan Juni 2019 yang memberikan ruang bagi pelaku kekerasan seksual.

Jaringan Solidaritas untuk Korban Kekerasan Seksual (JSKKS) dengan diwakili oleh aktivis perempuan, Olin Monteiro menyatakan mengecam penyelenggaraan acara yang melibatkan SS ini, karena memberikan ruang dan panggung pada pelaku kekerasan seksual.

“Kami mengerti bahwa ada proses kreatif seni, kolaborasi seniman-seniman dan jaringan seni yang ada, tetapi acara ini tidak melihat bagaimana dampak dari pembiaran pelaku kasus kekerasan seksual untuk tetap berkiprah dalam komunitas seni. Ini sama seperti pernyataan kami sebelumnya kepada galeri lukisan di Yogyakarta yang 2 tahun lalu sempat memberikan tempat kepada pelaku untuk berpameran. Maka kami menuntut keadilan bagi korban yang sampai saat ini hidup di dalam trauma dan penderitaan. Sejatinya seni memiliki fungsi-fungsi untuk mengabarkan dan memperjuangkan keadilan. Apakah pantas ada perhelatan seni, yang merayakan SS, seseorang yang masih menyandang status tersangka kekerasan seksual?,” ujar Olin Monteiro dalam pernyataan sikapnya.

Ada berargumentasi dan bersembunyi dibalik retorika kebebasan ekspresi seorang seniman, sesungguhnya bisa menyalahgunakan pengertian seolah-olah karya seni dapat dilepaskan dari konsekuensi etisnya, dan karya seni dapat begitu saja dimaknai terlepas dari sikap si seniman.

Pandangan-pandangan ini dinilai menyesatkan, dan mengkerdilkan seni demi kepentingan hiburan kosong saja.

“Hal yang terlebih penting, banyak yang memakai istilah kebebasan ekspresi dan kemanusiaan bagi seorang SS, pernahkah mereka memikirkan, dimanakah kebebasan dan kemanusiaan bagi korban-korban yang sudah menderita?.”

Maka jaringan solidaritas untuk korban kekerasan seksual meminta kepada para pemilik dan pengelola komunitas seni dan galeri seni di Indonesia untuk membuat kode etik terkait penghapusan kekerasan seksual di tempat acara dan galeri masing-masing, termasuk memastikan tidak ada pelaku kekerasan seksual yang diberikan akses pada pertunjukan kesenian. Kode etik ini harus disosialisasikan kepada semua pihak terkait dan juga pihak kedua atau ketiga yang akan bekerjasama dengan komunitas.

Jaringan juga meminta adanya Standar Operasional (SOP) atau mekanisme kerja dalam komunitas seni, terutama untuk semua pihak terlibat, untuk melindungi semua orang yang beresiko mendapatkan perlakuan pelecehan seksual atau kekerasan seksual, terutama dalam pola relasi kekuasaan yang terjadi di dalam komunitas, contoh guru kepada murid, pemimpin pada staf, seniman lama kepada seniman baru, pekerja kepada murid magang, pekerja pada relawan dan lainnya. Karena dari pengalaman kasus ini, maka relasi kuasa ini menyebabkan kekerasan seksual terjadi.

“Kami menuntut adanya dialog antara tim kurator seni, pekerja seni, pengelola komunitas seni bersama-sama aktivis gerakan perempuan untuk membuat memorandum penanganan kerjasama penghapusan kekerasan seksual, sebagai bentuk nyata kerjasama dalam kegiatan berkesenian kedepannya. Memorandum bisa dibuat dalam lintas lembaga di tingkat nasional, atau bersama aktivis di tingkat propinsi,” ujar Olin Monteiro

Jaringan juga menuntut kepada Dinas Kebudayaan, Kedutaan Besar, perusahaan atau penyandang dana untuk kesenian dan budaya di Indonesia agar memiliki kebijakan dan SOP, mungkin dewan kurasi, untuk memastikan dana tidak diberikan pada seniman dari kelompok seni atau komunitas seni yang memiliki permasalahan terkait kekerasan seksual.
Selain itu juga menuntut sikap Kepolisian RI untuk segera meneruskan dan memproses sesuai dengan kaidah hukum pelaporan yang telah dilakukan oleh korban.

Selanjutnya jaringan solidaritas untuk korban kekerasan seksual meminta kepada Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, untuk membantu diskusi dan dialog kedepanmya untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan seniman seperti ini.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.