Seperempat ibu depresi setelah melahirkan, tapi penanganannya belum optimal. Mengapa?
Cesa Septiana Pratiwi, University of Leeds
Tingginya angka depresi pada perempuan, baik saat hamil maupun setelah melahirkan, membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah dan keluarga agar dampaknya tak semakin buruk.
Akhir April lalu, misalnya, seorang ibu muda bersama bayinya berusia empat bulan bunuh diri dengan cara terjun ke Sungai Serayu yang deras di Cilacap Jawa Tengah.
Sejumlah media menyebut sebelum bunuh diri, ibu tersebut mengalami gejala sindrom baby blues, yaitu perasaan sedih, cemas, dan mudah marah, yang terjadi dalam jangka pendek (hingga 10 hari setelah melahirkan). Tapi melihat rangkaian kasus tersebut, ibu ini mungkin memiliki gejala depresi setelah melahirkan, bukan sekadar baby blues.
Beda baby blues dan depresi setelah melahirkan
Postpartum blues atau baby blues syndrome yang mulai disuarakan oleh banyak perempuan di media sosial dialami oleh mayoritas (70%-80%) ibu melahirkan baik di negara berkembang maupun negara maju.
Baby blues disebabkan oleh perubahan hormonal dan sosial (seperti perubahan peran menjadi ibu) setelah melahirkan. Gejala-gejala baby blues yang dialami oleh ibu akan hilang dengan sendirinya, setelah ibu mampu menyesuaikan diri dengan peran barunya. Dengan demikian, baby blues tidak dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental selama masa perinatal.
Berbeda dengan baby blues, depresi bisa dialami oleh ibu pada masa kehamilan, setelah melahirkan maupun pada kedua fase tersebut. Depresi saat hamil juga menjadi salah satu prediktor depresi postpartum
Gejala depresi postpartum mirip baby blues dengan durasi, frekuensi, dan intensitas gejala yang lebih tinggi (parah) dan membutuhkan bantuan tenaga kesehatan untuk menanganinya. Gejala utamanya ditandai dengan adanya pikiran menyakiti diri sendiri/bayinya, keinginan bunuh diri, dan ketidakmampuan merawat bayi yang baru dilahirkan.
Risiko perempuan lebih tinggi
Perempuan memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami depresi daripada laki-laki, dan angka kejadiannya banyak ditemukan pada mereka yang masih di usia reproduktif (12-51 tahun).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), di negara berkembang, antara 10-50% ibu yang menjalani masa perinatal (saat hamil hingga setahun setelah melahirkan) mengalami depresi.
Menurut sebuah tinjauan sistematis, angka kejadian gangguan kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan pada ibu di negara berkembang tercatat memiliki rata-rata terbobot 15,6% saat hamil dan 19,8% saat setelah melahirkan. Di Indonesia, tercatat sebanyak 22,4% ibu mengalami depresi setelah melahirkan (depresi postpartum).
Sayangnya, meski angka kejadian depresi pada ibu selama masa perinatal di negara berkembang lebih tinggi daripada kejadian di negara maju yang prevalensinya berkisar antara 7,4-13%, sistem kesehatan mental perinatal belum tersedia di banyak negara berkembang. Selain itu, ada juga faktor budaya dan kapasitas paramedis yang menghambat penangangan masalah ini secara optimal.
Kesehatan mental belum jadi prioritas
Sistem kesehatan mental perinatal belum menjadi prioritas di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Program kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah lebih terfokus pada kematian ibu dan bayi.
Ini sebenarnya bisa dipahami karena pemerintah Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) (305/100.000 kelahiran hidup) dan Angka Kematian Bayi (AKB)(24/1.000 kelahiran) yang saat ini masih cukup tinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara.
Namun berdasarkan banyak penelitian, gangguan kesehatan mental pada masa kehamilan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada masa hamil dan setelah melahirkan, seperti kejadian abortus spontan (keguguran), kelahiran dengan berat bayi lahir rendah (kurang dari 2500 gram), dan persalinan prematur (sebelum usia 37 minggu).
Sebuah studi jangka panjang untuk mengetahui dampak faktor risiko terhadap suatu penyakit juga menemukan bahwa depresi pada masa perinatal berhubungan dengan kejadian stunting dan gangguan gastrointestinal (pencernaan) seperti diare pada bayi dan balita.
Sedangkan untuk jangka panjang, gangguan kesehatan mental pada ibu hamil diasosiasikan dengan buruknya perkembangan kognisi, perilaku, dan emosi pada anak-anak yang dilahirkan.
Hambatan budaya dan paramedis
Pada ibu hamil, stres dikaitkan dengan banyaknya tekanan sosial dan budaya di sekelilingnya.
Dengan berbagai peran yang dipegang oleh seorang ibu (anak dari orang tuanya, istri dari suaminya, ibu dari anak-anaknya dan bayi yang dikandungnya), ia menjadi sangat berisiko mengalami gangguan mental pada saat masa perinatal. Belum lagi, jika ia berkarir di luar wilayah domestik rumah tangga.
Masalah makin runyam karena keluhan stres pada ibu lekat dengan stigma dan stereotip; misalnya ibu dengan gejala depresi dianggap sebagai ibu yang gagal atau kurang bersyukur.
Selain itu, secara umum problem kesehatan mental di Indonesia juga berkaitan dengan adanya kesenjangan relasi kuasa yang dialami penderita.
Dalam konteks ini, faktor sosial budaya menjadi salah satu hambatan untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sadar akan pentingnya kesehatan mental. Indonesia kekurangan tenaga kesehatan mental yang memadai (psikiater, psikolog dan perawat jiwa) dan belum banyak profesional kesehatan (bidan, dokter spesialis obstetri dan ginekologi, atau dokter umum) yang menanyakan perihal perasaan atau kondisi psikologis pada ibu hamil dan ibu baru melahirkan.
Karena jumlah kunjungan pasien terlalu banyak, profesional kesehatan kekurangan waktu untuk melayani masing-masing ibu hamil dengan intensif. Selain itu, tenaga kesehatan mental tidak tersedia di semua Puskesmas sehingga layanan tersebut kurang terjangkau masyarakat.
Pembenahan sistem begitu mendesak
Upaya pertama untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental untuk para ibu di Indonesia adalah membekali bidan, dokter umum dan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dengan literasi kesehatan mental dan pengetahuan mengenai dampak buruk depresi dan gangguan kecemasan pada ibu hamil. Mereka perlu tahu bagaimana mendeteksi gangguan kesehatan mental.
Ada beberapa instrumen untuk mendeteksi gangguan kesehatan mental, seperti Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), dan Beck Depressive Inventory (BDI) yang bisa digunakan sebagai bentuk penapisan (skrining) awal.
Instrumen-instrumen ini tersedia dalam bahasa Indonesia sehingga seharusnya penggunaannya bisa lebih maksimal. Penapisan awal berguna untuk menentukan mana ibu yang membutuhkan konseling dari tenaga kesehatan terlatih dan mana ibu yang perlu dirujuk karena membutuhkan bantuan lebih lanjut dari psikolog dan psikiater.
Kebijakan yang mendesak adalah memperkuat layanan kesehatan mental di pusat pelayanan kesehatan primer (Puskesmas). Sebuah riset meta-analisis menemukan bahwa melakukan skrining tanpa didukung dengan keberadaan sistem pelayanan dan manajemen yang tepat, tidak memiliki benefit terhadap pasien yang menderita depresi.
Di beberapa Puskesmas di wilayah Yogyakarta, keberadaan psikolog klinis telah menjadi bagian dari pelayanan kesehatan. Namun pelayanan psikologis ini belum terintegrasi dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Di beberapa Puskesmas di Yogyakarta, ibu hamil telah mendapatkan kesempatan bertemu dengan psikolog dalam sesi psikoedukasi. Sayangnya, hal ini hanya berlaku untuk satu kali selama masa hamil dan biasanya hanya dilakukan pada saat kunjungan pertama. Padahal, gangguan psikologis pada saat masa perinatal bisa dialami ibu kapan saja: trimester ke-1, 2, 3 atau bahkan 4 bulan setelah melahirkan.
Karena itu, membekali tenaga kesehatan pemberi layanan kebidanan dengan keterampilan skrining dan mengintegrasikan pelayanan kesehatan ibu dan anak dengan layanan psikolog menjadi dua hal yang sangat penting untuk mengoptimalkan pengalaman ibu selama masa perinatal.
Cesa Septiana Pratiwi, PhD Researcher, University of Leeds
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment