Header Ads

Arya Stark di Game of Thrones sangat kuat pesona seksualnya tapi juga membahayakan laki-laki





Tidak ada yang lebih galak dibanding Maisie Williams sebagai Arya Stark di Game of Thrones.
Helen Sloan/HBO



Natasha Hodgson, Nottingham Trent University

Perhatian: Artikel ini memuat cuplikan tentang Game of Thrones seri delapan episode tiga…


Akhir klimaks dari episode terbaru Game of Thrones membuat para penggemarnya di internet senang dan kesal saat Arya Stark muncul untuk menghabisi nyawa Night King ketika ia akan melancarkan aksinya untuk membunuh seluruh umat manusia.


Di media sosial, sehari sesudah episode tiga, sejumlah penggemar menyebut Arya sebagai “Mary Sue”-karakter perempuan ideal, sebuah fiksi dalam fiksi, yang muncul sebagai karakter untuk memenuhi alur cerita. Tapi, setelah bertahan selama tujuh musim, mengasah kemampuannya sebagai pembunuh, julukan tersebut tentu tidak masuk akal. Banyak juga yang menyatakan kekecewaannya bahwa Jon Snow-sang pahlawan laki-laki-tidak diberi kesempatan untuk berhadapan dengan pemimpin zombie dari gerombolan mayat hidup.


Tapi peran Arya di serial ini mematahkan konvensi yang ada, sebagaimana yang seharusnya dilakukan cerita fiksi yang bagus.



Dari kacamata sejarawan, transisi Arya dari remaja perempuan pemberontak menjadi pembunuh yang keji memrefleksikan representasi perempuan yang melakukan tindak kekerasan pada masa lalu-dan asal-usul gagasan gender tentang mereka.


Gagasan tentang perempuan yang bekerja sebagai pembunuh terlatih bukan hal yang lazim pada periode abad pertengahan. Pembunuhan politik tentu bukan hal baru, tapi mengabdikan diri karena panggilan biasanya dikaitkan dengan perkembangan sekte Nizari yang dipimpin oleh Hasan-i Sabbah pada awal abad ke-12, belakangan disebut sebagai “assassin”.


Pada periode tersebut, ketika perempuan dituduh terlibat dalam pembunuhan yang ditargetkan, kejahatan yang mereka lakukan jarang melibatkan kekerasan fisik secara pribadi. Perempuan lebih mungkin untuk dituduh atas percobaan pembunuhan melalui cara yang tak langsung yang kiranya cocok dengan gender mereka-peracunan seperti kasus Lucretia Borgia-atau bahkan sihir seperti yang terjadi pada Joan of Arc ketika Inggris mencari alasan untuk membakarnya, karena ia angkat senjata untuk melawan mereka.


Kesamaan di dalam Alkitab dapat dibuktikan dengan perempuan yang menggunakan sifat feminin mereka untuk membunuh yang “dibenarkan”, seperti pemenggalan Holofernes oleh Judith atau Yael-yang membunuh Sisera, jenderal Kanaan, dengan pasak tenda. Kedua tindakan itu melibatkan rayuan, penipuan, dan membunuh korban ketika mereka tidur, dengan demikian sesuai dengan ide-ide yang membuat kekerasan fisik “tidak sesuai” bagi perempuan.





Judith memenggal kepala Holofernes dalam karya seni Caravaggio (1598-1599).
Galleria Nazionale d'Arte Antica at Palazzo Barberini, Rome



Seks dan kematian


Pembunuh perempuan yang kuat dan agresif mendapat sorotan lebih dalam budaya media modern, tapi karakter mereka cenderung diseksualisasi. Contoh terkini adalah karakter serial televisi Nikita, “Sang Pengantin” dari trilogi Kill Bill karya sutradara Quentin Tarantino, atau Black Widow dari film the Avengers yang merupakan pembunuh. Mereka dituntut untuk berperan melawan sifat feminin mereka, namun secara bersamaan juga dituntut untuk rapuh secara emosional dan atraktif secara seksual.


Mungkin penggambaran yang paling menarik berasal dari serial terbaru BBC yang dibintangi oleh Jodie Comer dan Sandra Oh berjudul Killing Eve yang menampilkan Comer sebagai Villanelle sebagai tokoh psikopat tapi juga merupakan seorang karismatik yang menjiwai pekerjaannya. Sayangnya, ketertarikan seksual antara laki-laki dan perempuan masih menjadi kunci utama dalam penggambarannya.







Dalam beberapa aspek, Arya Stark masih lebih baik dibandingkan dengan tokoh serial televisi lain. Ia juga termotivasi oleh balas dendam, tapi memilih untuk bergabung dengan “Faceless Men”-sebuah sekte religius para pembunuh yang melayani Dewa Berwajah Banyak. Setelah menjalani pelatihan brutal dan tidak manusiawi, dia memberontak sekali lagi, meninggalkan mereka untuk mendapatkan kembali identitasnya dan kembali ke rumah.


Dalam episode tiga musim ini, ia mengalahkan Night King dengan menggunakan keterampilan yang ia peroleh selama pelatihan tersebut, bukan menggunakan pesona femininnya-meskipun ini tidak banyak pengaruh pada zombie yang dingin dan terobsesi dengan kematian.


Tapi keputusan editor untuk memperkenalkan kembali kerapuhan karakter Arya pada tahap ini adalah penting. Setelah menjadi pembunuh bayaran, kepulangannya dapat dilihat sebagai cara untuk menunjukkan sifat lemah, menjadikannya lebih tidak mematikan dan lebih manusiawi, saat ia memperbarui hubungan keluarga dan mengeksplorasi perasaannya terus bertumbuh terhadap Gendry, seorang anak haram jadah raja sebelumnya yang kematiannya pada musim pertama serial ini memantik terjadinya perang saudara di Westeros.







Untuk catatan tayangan ini, Arya juga selamat dari keputusannya untuk berhubungan seks-meskipun dalam tradisi film horor ini akan menjadi indikator yang jelas tentang kematian yang akan segera terjadi. Tapi ketidakmampuannya mengendalikan rasa takutnya ketika dikejar melalui koridor Winterfell oleh pasukan zombie memang menunjukkan bahwa mungkin ia telah kehilangan ketenangan yang dihayati dalam pelatihannya.


Sebuah elemen “penebusan” kuat mengalir sepanjang episode tiga, dengan Jorah Mormont mati untuk Daenerys Targaryen, ratu yang ia khianati, dan Theon Greyjoy mengorbankan dirinya untuk Bran Stark, hal-hal yang dilakukan tokoh jahat untuk menebus kesalahan mereka. Pendeta Melisandre-yang dirinya sendiri butuh diampuni atas penggunaan “ilmu hitam” pada masa lalu-mengembalikan Arya ke tujuan sebenarnya dan pemenuhan pelatihannya ketika ia pergi untuk bertarung dengan Night King, berjuang untuk hidup, bukannya mati.


Alhasil, Arya-dimainkan secara luar biasa oleh Maisie Williams-tampil sebagai karakter yang lebih kompleks dan asli. Ia menunjukkan kelemahan dan penyesalan yang menjauhkannya dari kategori “Mary Sue” sambil menyimpang dari model perempuan yang menarik secara seksual sekaligus mematikan/membahayakan laki-laki yang tertarik padanya (femme fatale) yang lebih dari dua dimensi.


Namun setiap evaluasi akhir, harus bergantung pada bagaimana cerita Arya-dan pemeran utama lain yang selamat dari pembantaian minggu ini-diungkapkan dalam sisa serial ini.


Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation


Natasha Hodgson, Senior Lecturer in Medieval History, Nottingham Trent University


Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.