Perempuan Tana Humba, Para Perempuan yang Hidup dalam Pusaran Tradisi
"Perempuan tua itu senantiasa bernama: korban, cinta kasih, restu dan ampunan dengan tulus hati, yang kemudian melahirkan berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia."
*Kustiah- www.Konde.co
Penggalan puisi karya sastrawan Umbu Landu Paranggi berjudul "Ibu Tercinta" yang dibacakan Adinia Wirasti mengantar penonton melihat lebih dekat film dokumenter besutan Lasja F Susatyo berjudul The Woven Path: Perempuan Tana Humba.
Tiga artis perempuan, Wulan Guritno, Dian Sastro, dan Adinia Wirasti juga membacakan puisi karya Diana Timoria dan Umbu Landu Paranggi yang bertema perempuan sebelum film tersebut diputar.
Perempuan di Tana Humba
Keindahan alam, tenun beserta tradisinya membuat Pulau Sumba atau Tana Humba dikenal dunia. Pulau seluas 10.710 Km di Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal memiliki keindahan alam yang eksotis. Seperti yang terlihat dalam film dokumenter berdurasi 30 menit, di awal film ini diputar Sumba tampil bak negeri dongeng yang memiliki laut cantik, hamparan ladang sabana yang luas dengan kuda sandel berlarian, dan jajaran bukit-bukit yang menawan. Dan tak kalah menarik adalah tradisi masyarakat Sumba.
Sutradara membagi film ini dalam tiga babak terkait tradisi masyarakat Tana Humba yaitu Marapu, Belis, dan Perkawinan.
Melalui babak Marapu, penonton diajak melihat bagaimana rangkaian upacara yang dilakukan di Sumba mulai ritual perkawinan hingga ritual kematian. Sementara dalam babak Belis, atau dalam bahasa Sumba disebut mas kawin (mahar). Belis lebih mirip seperti jual beli di mana setelah pemberian belis pengantin perempuan menjadi hak keluarga pengantin laki-laki. Melalui babak ini penonton akan melihat bagaiman pengaruh belis terhadap posisi perempuan Sumba dalam keluarga dan masyarakat.
Sementara babak perkawinan merupakan babak yang menunjukkan bagaimana ritual perkawinan di jalankan di Sumba dan apa dampaknya bagi peran perempuan dalam keluarga.
Tema perempuan dalam adat tradisi di Sumba (timur) sengaja diangkat Lasja, terutama kaitannya dengan belis (mahar) dan perkawinan kerap masih sangat memberatkan.
"Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, perbaikan seharusnya dilakukan dengan bijaksana karena tatanan satu berpengaruh terhadap tatanan kehidupan lainnya" ujarnya.
Bagi sebagian masyarakat Tana Humba Marapu tak hanya sekedar tradisi tetapi juga telah dianggap menjadi bagian hidup dalam berkeyakinan. Di sana, baik yang beragama Kristen atau meyakini Marapu hidup rukun berdampingan saling menghargai dan menjaga tradisi. Begitu juga Belis atau mahar.
Tamu Rambu Hamu Eti, perempuan bangsawan Tana Humba menyebut Belis sebagai tradisi masyarakat Sumba yang harus dijaga. Karena, memiliki tujuan baik untuk kehidupan anak-anaknya khususnya anak perempuan.
"Jangan dianggap Belis sekadar bentuk materi. Tetapi, ada tujuan di dalamnya yakni bagaimana memberi nilai untuk anak-anaknya. Juga bertujuan menjaga anak perempuan kelak jika terjadi konflik saat berumah tangga" ujar Tamu Rambu Hamu Eti kepada Kustiah dari www.konde.co usai pemutaran film pada 10 Mei 2019 di Plaza Indonesia.
Belis biasanya berupa hewan ternak seperti kuda, kerbau atau babi yang diberikan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Semakin tinggi kasta keluarga pelamar dan yang dilamar semakin banyak Belis yang diberikan. Untuk jumlahnya tergantung negosiasi antara kedua pihak keluarga.
Dan karena Belis pula tak jarang sebuah pernikahan urung terjadi. Karena, tak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Misal karena pihak laki-laki keberatan dengan belis yang diajukan pihak keluarga perempuan. Atau pihak perempuan tidak sepakat dengan jumlah belis dari pihak laki-laki.
Resti Rambu Ana, anak Raja Prailiu Tamu Umbu Ndjaka menganggap tradisi di Tana Humba membuat perempuan banyak kehilangan haknya. Belis salah satunya.
"Urusan Belis dibahas laki-laki dalam rapat keluarga tanpa melibatkan perempuan, ibu atau anak. Padahal, anak biasanya dekat dengan ibunya," katanya.
Dalam setiap rapat keluarga di Sumba, kata Ana, sudah menjadi tradisi laki-laki berkumpul bersama laki-laki yang duduk di ruang utama di lantai bawah. Sementara para perempuan berkumpul di lantai atas. Jika hendak memutuskan sesuatu ada juru bicara adat atau disebut Wunang yang akan bertanya terlebih dahulu ke tempat para perempuan berkumpul.
"Sekat inilah yang membuat seolah perempuan itu hanya dianggap sebagai makhluk kedua setelah laki-laki," ujarnya.
Tak hanya dianggap sebagai 'konco wingking' (teman hidup yang hanya mengurusi pekerjaan domestik), perempuan Tana Humba sampai hari ini masih banyak yang tak bisa menyuarakan haknya untuk berpendapat karena tradisi yang membelenggu mereka. Hal itu terjadi di semua strata sosial, baik para keturunan raja atau Maramba (majikan para hamba, strata sosial tertinggi di masyarakat Sumba) atau strata terendah yang sering disebut Ata atau hamba.
Beruntung Ana lahir dari rahim ibu Tamu Rambu Margaretha, seorang perempuan tamatan sekolah menengah pertama, yang meski istri raja, selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menghargai semua manusia dan tidak memandang orang lain karena strata. Sebagai anak dan menantu seorang raja, Ana bisa saja memilih dan membawa berapa pun anak (hamba) perempuan. Hamba kesehariannya bertugas mengerjakan pekerjaan domestik tanpa dibayar. Namun, lulusan Diploma Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang saat ini menjadi polisi hutan di Taman Nasional Sumba menolak membawa hamba.
"Saya kasihan harus memisahkan anak dengan orang tuanya. Juga berat di ongkos (untuk menanggung membiayai hambanya)" ujarnya.
Begitu juga soal Belis, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini juga bersuara lantang mengajak supaya masyarakat Tana Humba mengambil tradisi yang baiknya saja. Sementara yang tidak baik dan merugikan perempuan harus ditinggalkan. Perempuan harus berani menyuarakan.
Dia bercerita, pada pernikahannya tahun 2015 lalu sempat terjadi perselisihan kecil di antara keluarga besarnya karena Ana dianggap tak mengikuti tradisi. Di antaranya soal Belis, juga tak melibatkan para keluarga yang laki-laki untuk membahas pesta pernikahan. Alasan Ana sederhana, segala sesuatu yang bisa dilakukan sesederhana mungkin tak perlu dipersulit hanya untuk menunjukkan eksistensi.
"Saat hendak menikah saya sudah punya pendapatan sendiri dan saya tak menyulitkan keluarga untuk membiayai pernikahan. Jadi, saya punya hak untuk memutuskan" ujarnya.
Hal sebaliknya justru lumrah terjadi di Tanah Humba. Apalagi di kampung-kampung yang masih banyak anak perempuan tak sekolah. Jika ada keluarga laki-laki membawa belis untuk melamar anak perempuan, maka anak perempuan bisa dibawa atau dimiliki anak laki-laki yang melamar. Dalam tradisi di masyarakat Tana Humba belis sudah dianggap kuat untuk memiliki perempuan meski belum menikah di gereja atau menikah secara hukum. Tradisi inilah yang menurut Ana harus dibuang.
Film dokumenter yang dikerjakan bersama produser Mandy Marahimin dan periset perempuan Olin Monteiro ini terasa singkat dan padat, memberikan pesan yang dalam. Di tengah pusaran tradisi yang kuat, perempuan kerap kali menjadi korban. Banyak dari mereka alih-alih merawat tradisi justru melanggengkan penindasan terhadap perempuan.
*Kustiah, setelah menjadi jurnalis di www.Detik.com, kini Kustiah menjadi pengelola www.Konde.co. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Post a Comment