Stress dan Beban Kerja Berat, Perempuan Pekerja Kesulitan Mencapai Karirnya
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Sebuah survey tentang kondisi pekerja yang dilakukan Serikat Sindikasi menyebutkan bahwa perempuan pekerja banyak yang kesulitan untuk mencapai karirnya. Ini karena beban reproduksi perempuan yang harus ia tanggung sendiri, selain beban produksi yang juga ia jalani ketika bekerja di kantor.
Perempuan pekerja juga menghadapi kerentanan yang tinggi, yaitu stress akibat kerja berlebih, di rumah bekerja dan di kantor juga bekerja. Beban ini tak sama dengan laki-laki yang nyaris tak banyak melakukan sesuatu ketika di rumah. Sedangkan perempuan, selelah apapun harus mengambil pekerjan-pekerjaan di rumah setelah ia selesai bekerja di kantor.
Hal ini merupakan salah satu klausul yang diteliiti Serikat Sindikasi. Survey ini juga menunjukkan bahwa pekerja menghadapi kondisi kerja yang menimbulkan stres berat. Kondisi tersebut di antaranya kurangnya waktu untuk istirahat, pekerjaan yang semakin kompleks, dan ketidakjelasan karier di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan atau pemberi kerja perlu mewujudkan tempat kerja yang sehat untuk mental para pekerja.
Kondisi kerja yang paling banyak menimbulkan stres berat bagi pekerja tersebut terungkap dalam hasil Survei Faktor Psikologi Kerja yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Hasil survei tersebut dibacakan dalam diskusi Kerja Waras untuk Pekerja Lepas yang menjadi kegiatan di "Work Life Balance Festival" 2019 pada Sabtu (9/2) di Cohive D.Lab, Jakarta Pusat untuk memeringati bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Peneliti dan Divisi Riset & Edukasi SINDIKASI Fathimah Fildzah Izzati mengungkapkan survei tersebut menggunakan enam standar faktor psikologi yang terdapat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang K3 yakni ketaksaan (ambiguitas) peran, konflik peran, beban berlebih kuantitatif, beban berlebih kualitatif, pengembangan karir, dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Standar tersebut dinilainya belum mencakup risiko kerja yang mempengaruhi kesehatan mental terutama pekerja di industri media dan kreatif. Risiko tersebut di antaranya adalah kelelahan karena terlalu banyak lembur dan kekerasan seksual di tempat kerja. Risiko lainnya di luar tempat kerja seperti kemacetan.
"Pekerja juga harus menghadapi victim blaming, kalau mengeluh banyak kerja dianggap banyak mengeluh, tidak siap kerja, tidak siap dengan risiko pekerjaan. Sehingga mereka memilih tidak melaporkan karena takut disalahkan atau takut kehilangan pekerjaan," ujarnya.
Pekerja yang paling banyak stres berat terkait dengan beban kerja paling banyak di sektor e-commerce, arsitektur, dan pembuat konten media.
Sementara, pekerja yang stres berat karena tugas menumpuk dan kompleks paling banyak bekerja di e-commerce, teknologi informasi, desain komunikasi visual, dan pembuat konten. Mereka bekerja sebagai freelance (pekerja lepas), bekerja ganda (kerja tetap dan freelance), dan pekerja harian.
Atas kondisi tersebut, ia merekomendasikan untuk mempertimbangkan risiko-risiko yang memengaruhi kesehatan mental pekerja untuk managemen stres.
Selain itu, perlu ada langkah lanjutan baik dalam penanganan maupun pencegahan dengan memperbaiki kondisi kerja dan mewujudkan kerja layak demi kesehatan mental pekerja.
Praktisi Kesehatan Mental, dr Jiemi Ardian mengakui kondisi kerja yang tidak sehat bisa menjadi pencetus stres. Pencetus dari pekerjaan tersebut meningkatkan ambang stres pekerja.
"Puncaknya adalah mental breakdown, depresi, dan gangguan kesehatan mental. Untuk mengenalinya cukup dengan melihat apakah ada gangguan tidur," ujarnya.
Oleh karena itu, dia menilai perusahaan atau pemberi kerja perlu memberikan pelatihan menangani untuk mengurangi stres bagi pekerja. Selain itu, perlu menciptakan sistem baru untuk menciptakan kerja sehat untuk mental.
Sementara itu, Kasi Pengawasan Norma Ergonomi dan Lingkungan Kerja Kemenaker, Muhammad Fertiaz mengungkapkan faktor psikologi telah masuk dalam aspek K3 lewat Permenaker Nomor 5 Tahun 2018. Enam standar faktor psikologi dalam aturan tersebut dinilainya merupakan faktor pencetus yang memengaruhi kesehatan mental pekerja.
"Tools yang kita buat hanya mencakup pencetus stres. Dilihat mana dari enam itu yang paling dominan, dilihat tingkat stresnya. Jadi kebijakan pengendalian perusahaan, kalau beban kerja kuantitatif perlu pembagian jobdesk, kalau pencetusnya kualitatif, perusahaan beri pelatihan," ujarnya.
Penilaian faktor pencetus tersebut, menurutnya, bukan menilai kondisi pekerja tetapi kondisi yang memicu gangguan kesehatan mental. Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga atau konsultan, bukan oleh perusahaan sendiri. Pelanggaran atas aturan tersebut diancam pidana kurungan tiga bulan dan denda hingga Rp 100 juta.
Maka yang harus dilakukan yaitu dilarang membebani pekerja terlalu tinggi, untuk perempuan seharusnya bukan mereka sendiri yang melakukan pekerjaan di rumah. Karena beban di rumah seharusnya dilakukan bersama-sama dengan pasangannya.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment