Membangun Ruang Baru dalam Serikat Pekerja Berperspektif Perempuan
*Ian Ahong- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Bagaimana membangun serikat pekerja berperspektif perempuan? Pertanyaan ini banyak ditujukan pada serikat pekerja, menjadi tantangan yang mesti dijawab. Sejumlah feminis mencatat bahwa adanya pembagian kerja secara seksualah yang kemudian menghambat para perempuan pekerja dalam berorganisasi.
Feminis, Veronica Baechey menyatakan bahwa secara historis, pemisahan struktur kerja ini selalu merugikan perempuan karena memisahkan perempuan dan mengabaikan pembagian kerja dalam keluarga.
Di tempat perempuan bekerja, perempuan yang sudah diabaikan pembagian kerja secara seksual, begitu juga ketika perempuan ingin berorganisasi. Maka, ini adalah problem yang harus dijawab.
Selama ini data menunjukkan bahwa pengurus organisasi serikat pekerja kebanyakan laki-laki, selalu pulang malam karena rapat diadakan di malam hari, sekaligus kebiasaan-kebiasaan yang membuat perempuan tak bisa mengikutinya karena beban domestik yang masih harus dilakukan perempuan.
Maka, temuannya adalah, serikat buruh perlu membuat kebijakan-kebijakan afirmatif yang mendukung partisipasi anggota perempuan. Hal tersebut penting agar perempuan dapat mengambil peran dalam organisasi dan mendorong kesetaraan gender.
Data Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menunjukkan bahwa buruh perempuan kerap tidak dapat aktif di organisasi karena tidak adanya ruang yang nyaman dari organisasi. Maka penting kemudian menciptakan ruang-ruang perempuan yang nyaman dalam organisasi serikat pekerja.
“Penting menyediakan ruang yang nyaman untuk perempuan,” kata Ketua Departemen Perempuan KPBI, Dian Septi pada Rabu, 24 Januari 2019 lalu.
Ia menyebutkan perempuan kerap membawa anak ketika melakukan kegiatan organisasi. Maka, ruang nyaman itu di antaranya adalah kesepakatan untuk membatasi asap rokok ketika rapat. Dengan demikian, anak-anak tidak terganggu dengan kepulan asap tersebut.
Organisasi buruh juga perlu mencurahkan sumber daya untuk menyediakan pengasuh ketika para buruh yang menjadi ibu. itu melakukan kegiatan organisasi.
“Buruh jadi bisa konsentrasi pada kegiatan organisasi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, persoalan waktu rapat juga berpengaruh pada peran perempuan. Sebab, dalam tatanan patriarkis yang mendominasi, perempuan mendapatkan beban pekerjaan rumah, selain pabrik. Keaktifan di organisasi selalu berpotensi menimbulkan masalah dengan pasangan.
“Kalau kemalaman, selain pekerjaan rumah terbengkalai, juga menimbulkan konflik dengan keluarga (terutama suami), jadi rumit lagi harus negosiasi dll. Kalau melibatkan perempuan, mesti peka dengan hal-hal detil,” jelasnya.
Hal-hal tersebut ia sampaikan ketika kunjungan Departemen Perempuan KPBI ke federasi serikat anggota, Federasi Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh.
Maka dalam serikat buruh atau serikat pekerja, yang dibutuhkan adanya departemen perempuan yang aktif, pengurus yang berperspektif perempuan yang sangat kuat.
Upaya ini selalu bertujuan untuk menggeliatkan buruh perempuan agar berperan lebih aktif di organisasi. Dengan begitu, isu-isu kesetaraan gender dapat lebih mewarnai serikat buruh. Departemen perempuan KPBI kemudian juga mendorong pembentukan wadah pembentukan tim kerja di konfederasi yang beranggotakan perempuan-perempuan aktivis buruh federasi.
“Menghidupkan perempuan di tiap-tiap federasi melalui diskusi bulanan, membentuk wadah perempuan, program utama, untuk memunculkan kekuatan perempuan KPBI baik kampanye dan konsolidasi internal,” paparnya.
Selain itu, KPBI juga rutin menggelar diskusi mengenai isu-isu gender untuk menambah pengetahuan bagi pekerja perempuan.
(Foto/Ilustrasi)
*Ian Ahong, jurnalis. Tulisan ini merupakan kerjasama www.Konde.co dan www.buruh.co
Post a Comment