Header Ads

Perempuan tidak melapor ketika dilecehkan di kantor karena tidak ada yang mendengar mereka


File 20190130 42594 sqe9h3.jpg?ixlib=rb 1.1

Di Australia, kebanyakan perempuan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya di tempat kerja bahkan ketika kekerasan tersebut telah melewati batas kewajaran.
shutterstock.com



Lisa Heap, Australian Catholic University

Ada alasan mengapa mereka yang mengalami pelecahan seksual–terutama di tempat kerja–tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya saat itu juga. Melaporkan pelecehan tersebut dapat malah mengakibatkan korban mengalami pengucilan, mematikan kariernya, atau bahkan mengancam keberlangsungan pekerjaannya.


Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di Australia (AHRC) pada 2018
mengenai pelecehan seksual di Australia menemukan bahwa sebagian besar pelecehan seksual terjadi di tempat kerja. Sebagai contoh, di industri media dan telekomunikasi, 81% pekerjanya dilaporkan mengalami pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir.
Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Dewan Balai Perdagangan Victoria (VTHC) di tahun 2016 menemukan sebesar 64% responden berjenis kelamin perempuan pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya.





Baca juga:
Bekerja dari rumah ternyata membawa dampak buruk bagi para pekerja





Di Australia, sebagian besar pelecehan seksual di tempat kerja sebagian besar tidak dilaporkan. Survei AHRC menemukan bahwa hanya 17% orang yang pernah mengalami pelecehan seksual membuat pengaduan resmi. Mereka yang mengalami pelecehan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa menyatakan bahwa mereka merasa hal tersebut akan dilihat sebagai reaksi yang berlebihan. Beberapa juga melihat bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk diam.


Sebuah survei pada tahun 2017 terhadap pekerja di industri media dan seni
menemukan bahwa sebagian besar orang enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena takut melukai karier mereka. Studi VTHC menemukan 19% dari wanita yang pernah mengalami pelecehan meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa tidak aman di tempat kerja. Dengan kata lain, mereka lebih suka meninggalkan tempat kerja yang berisiko daripada mengambil langkah-langkah untuk memastikan kasus pelecehan tidak terjadi lagi.


Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh mereka yang menyaksikan untuk menghentikan pelecehan seksual. Hampir 70% mereka yang menyaksikan terjadinya pelecehan atau mereka yang sadar akan pelecehan tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pelecehan tersebut atau mengurangi dampak negatif yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan sebuah budaya dimana kekerasan berbasis gender telah dianggap sebagai suatu hal yang normal. Hal ini juga tentunya menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidaksetaraan gender baik di tempat kerja maupun secara general.


Ketidaksetaraan gender di tempat kerja mencerminkan bahwa hal tersebut ada dan nyata di masyarakat. Sikap dan perilaku seksis yang mengarah kepada kekerasan di luar pekerjaan tidak berhenti sebatas gerbang pabrik atau pintu keluar kantor.


Our Watch, sebuah badan nasional Australia yang bergerak di pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan gender berada di tengah-tengah berbagai bentuk kekerasan yang dialami wanita Australia di rumah mereka, dalam hubungan personal mereka dan di dalam komunitas yang lebih luas.


Riset yang dilakukan oleh Our Watch
mendokumentasikan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan: normalisasi kekerasan terhadap perempuan; kontrol pria terhadap pengambilan keputusan dan batasan untuk independensi wanita; konstruksi sosial tentang maskulinitas dan femininitas; rasa tidak hormat terhadap wanita; dan hubungan teman sebaya pria yang menekankan agresi. Pemicu ini tercermin dalam struktur dan budaya tempat kerja.





Baca juga:
Teknologi dan robot akan guncang kebijakan ketenagakerjaan di Asia dan dunia





Dalam sebuah artikel ilmiah
yang saya tulis bersama kolega saya–Sally Weller dan Tom Barnes–kami berpendapat bahwa peraturan di tempat kerja yang dirancang untuk melindungi perempuan tidak efektif karena peraturan tersebut gagal menjawab masalah ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan. Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan termasuk juga ketidaksetaraan upah berbasis gender, kerugian dan diskriminasi karena tanggung jawab perempuan untuk merawat keluarganya, dan sebagai korban kekerasan berbasis gender.


Pada akhirnya, ketidaksetaraan ini merusak kapasitas perempuan untuk mengajukan keluhan, merampas hak pilihan dan suara mereka dan menciptakan rasa tidak aman. Tanpa kapasitas untuk mengajukan keluhan dan menuntut hak-hak mereka, hak-hak ini tidak dapat terealisasi. Karena itu, setiap strategi yang dirancang untuk mengakhiri pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan gender di tempat kerja harus membahas struktur dan budaya ketidaksetaraan dan seksisme yang ada.


Langkah pertama yang penting adalah pengakuan perusahaan bahwa ada masalah ketidaksetaraan gender di kantor mereka. Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terdokumentasi, akan sangat membantu jika pengusaha memulai dengan mengakui bahwa kekerasan gender mungkin ada di organisasi mereka. Penerimaan ini akan mempromosikan pendekatan proaktif untuk mengatasi faktor-faktor yang mendorong kekerasan daripada pendekatan reaktif saat ini yang melihat mereka menangani keluhan ketika korban maju. Mengubah peraturan di tempat kerja untuk memastikan bahwa organisasi memiliki tugas untuk menghilangkan risiko kekerasan gender akan memperkuat ini. Namun, perubahan struktur, perilaku dan sikap yang mendorong ketimpangan juga penting.


Gerakan serikat buruh Victoria telah mengembangkan strategi yang komprehensif untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Program mereka berfokus pada, salah satunya adalah, penerapan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan gender.


Pertama-tama, mereka memasukkan masalah kekerasan gender ke bidang kesehatan dan keselamatan, mewajibkan WorkSafe–semacam BPJS di Victoria, Australia–untuk menjadi lebih aktif mengidentifikasi dan memberantas risiko terjadinya kekerasan berbasis gender.


Kedua, serikat buruh Victoria membangun jalur pengaduan kolektif pelecehan seksual dan kekerasan gender ke hadapan komisi pekerja yang adil melalui penjaminan hak-hak mereka dalam perjanjian bersama.


Akhirnya, serikat buruh Victoria juga membahas seksisme dan meningkatkan kapasitas gerakan serikat pekerja untuk proaktif dalam ruang ini dengan mengadopsi program pendidikan komprehensif untuk perwakilan kesehatan dan keselamatan, delegasi serikat pekerja dan pejabat serikat pekerja.





Baca juga:
Apakah bekerja lepas jadi pilihan masa depan?





Sistem hukum untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja bergantung pada pengaduan orang-orang yang telah mengalami pelecehan. Kita tahu bahwa mereka sedikit sekali kemungkinan korban untuk melapor. Jika mereka tetap enggan melapor, tidak akan ada banyak perubahan. Untuk perubahan nyata, kita harus mengatasi penyebab mendasar pelecehan seksual dan kekerasan gender yaitu masalah ketidaksetaraan gender.




Ariza Muthia menerjemahkan artikel ini dari bahasa inggrisThe Conversation


Lisa Heap, Adjunct Professor at Institute of Religion, Politics and Society, Australian Catholic University


Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.