Susi Susanti Love All, Diskriminasi Rasial pada Atlet Indonesia
“Apakah setelah memenangkan medali emas Olimpiade, lalu ada tanda SBKRI di belakang baju saya. Tidak khan? Hanya ada tulisan Indonesia!"
*Alfa Gumilang- www.Konde.co
Pernyataan keras itu muncul dari mulut perempuan yang merupakan legenda bulutangkis dunia asal Indonesia, Susi Susanti. Pernyataan yang sebenarnya memang dia ucapkan sebagai respon kekecewaannya atas perlakuan pemerintah padanya.
Perlakuan negara pada sosok perempuan yang pertama kali berjasa mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Olimpiade Barcelona 1992, namun begitu sulitnya untuk mendapatkan pengakuan identitas Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagai orang Indonesia.
Isu tentang identitas ini menjadi satu narasi tersendiri dalam film biopic karya Sim F yang untuk kali pertama ia menyutradara film panjang. Porsi cerita tentang masalah yang dialami oleh Susi Susanti, dan dua pelatihnya Liang Qiuxia dan Pak Tong cukup besar. Memberikan pengetahuan baru pada penonton, bahwa di balik medali emas itu ada cerita yang tak sedap menimpa Susi, kedua pelatihnya, atau juga secara umum warga etnis Tionghoa pada masa Orde Baru.
Susi awalnya terlihat optimis, ia merasa bahwa jasa yang telah ia berikan akan mempemudah baginya untuk mendapatkan pengurusan dokumen-dokumen diri. Begitu pula kedua pelatihnya. Namun ternyata itu tak memiliki pengaruh apapun. Sekalipun torehan emas untuk negeri, ia tetaplah warga keturunan Tionghoa yang tetap akan dipersulit untuk urusan identitas diri.
Susi baru mendapatkan SBKRI untuk mengurus perizinan pernikahannya dengan Alan Budikusuma setelah ia bercerita pada media tentang apa yang ia alami, dan kasusnya diketahui banyak orang.
Dan sekali lagi, hak yang akhirnya didapat Susi bukanlah muncul karena kewajiban pemerintah Indonesia memberikan pada semua warganya tanpa kecuali, namun dari perjuangan Susi dalam mengadvokasi dirinya untuk mendapatkan haknya.
Cerita menarik dari film ini tentu tak akan sempurna jika saja visual film juga tak terlihat baik. Sejak awal menonton saya menikmati shoot-shoot gambar di film ini, begitu juga dengan artistiknya. Pakaian, dekorasi rumah, mobil-mobil tua, dll, serasa membawa kita pada era 90an.
Adalah Yunus Pasolang sebagai Director of Photography dan Frans Paat sebagai Art Director yang saya rasa berhasil membawa mata kita pada visual-visual yang tak janggal.
Ketika menerima undangan untuk menonton premiere film Susi Susanti: Love All, saya hanya mengira bahwa ini hanya sebuah film biopic biasa saja, menampilkan bagaimana proses dan perjuangan Susi Susanti hingga akhirnya mendapatkan medali emas dengan bumbu romantis dengan Alan Budikusuma. Lalu adegan dia menerima kalungan medali akan menjadi akhir dari cerita film itu dibalut dengan visual dramatis.
Ekspektasi saya tak tinggi kala itu, namun ternyata film ini memberikan cerita baru yang dahulu tak pernah saya tahu.
Yang saya tahu, semata Susi Susanti memberikan emas olimpade pertama bagi Indonesia, dan dirayakan oleh banyak orang. Sehingga ketika dihadirkan isu tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), film biopic ini menjadi terasa berbeda. Terlebih peristiwa tersebut bukanlah fiksi, pernah menjadi satu catatan sejarah kelam negeri ini perihal perlakuan negara para warga keturunan Tionghoa.
Film biopic ini akhirnya menjadi tak biasa, balutan isu diskriminasi rasial dalam film yang mendapatkan porsi cukup banyak, bukan hanya tempelan belaka, namun menjadi pembedanya.
Film ini juga mengingatkan saya pada film Invictus (2009) yang dibintangi oleh Matt Damon, dan dibesut oleh sutradara Clint Eastwood. Memang tak sama persis kasus diskriminasi rasialnya, namun keduanya adalah film tentang olahraga yang di dalamnya berkelindan isu rasial.
Sejarah negeri ini memang tak pernah bisa lepas dari sejarah tentang perlakuan diskriminatif negara pada warga keturunan Tionghoa. Film Susi Susanti hanya mengambil sedikit dari bentuk diskriminasi yang dialami.
SKBRI sendiri merupakan kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Lama, melalui UU. No 62 tahun 1958 mengenai Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kebijakan itu muncul setelah ada pernjajian antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok perihal perbedaan asas kewarganegaraan yang dianut oleh kedua negara.
Lalu pada saat Orde Baru berkuasa, pernjanjian tersebut kemudian dibatalkan. Warga Tionghoa yang memiliki dokumen dua kewarganegaraan dinyatakan sebagai stateless, atau tidak memiliki kewarganegaraan. Selanjutnya pada tahun 1978, Menteri Kehakiman mewajibkan SKBRI bagi warga keturunan Tionghoa.
SKBRI sudah tak ada lagi pascareformasi, namun isu rasial yang terlihat di film ini sepertinya masih cukup relevan untuk menjadi refleksi bagi kita hari ini.
Menyaksikan film ini bukan sekadar memberikan kita satu hiburan atau romantisme awal masa kejayaan bulutangkis Indonesia. Namun juga sedikit banyak memberikan satu pengetahuan yang cukup penting tentang sejarah negeri ini, sekalipun sejarah itu kelam adanya.
(Foto: jadwalnonton.com)
*Alfa Gumilang, penulis dan publishis film di Amygdala Publicist
Post a Comment