Mengapa Kita Harus Menolak Syarat Keperawanan pada Atlet Perempuan?
Poedjiati Tan www.konde.co
Konde.co- Pagi ini beredar di media daring bahwa atlet senam dipulangkan paksa karena dituduh tidak perawan dan akibatnya tidak bisa mengikuti SEA GAMES. Terus terang berita ini sungguh mengagetkan.
Sebagai mantan atlet nasional saya dapat merasakan kekecewaan dan malu yang ditanggung atlet tersebut. Seorang atlet yang sudah berlatih keras, siang malam berjuang untuk mengharumkan nama Indonesia sungguh tidak adil kalau performanya dinilai dari selaput dara.
Sebagai mantan atlet nasional saya dapat merasakan kekecewaan dan malu yang ditanggung atlet tersebut. Seorang atlet yang sudah berlatih keras, siang malam berjuang untuk mengharumkan nama Indonesia sungguh tidak adil kalau performanya dinilai dari selaput dara.
Apa arti keperawanan bagi seorang atlet perempuan? Selama menjadi atlet, memang kami sering mendengar mitos bahwa selaput dara kami bisa robek karena aktivitas olahraga yang keras. Tentu saja kami sering merasa khawatir tetapi demi mengemban nama bangsa, kami tetap berlatih keras. Atlet senam yang dituduh oleh sang pelatih sering keluar malam dan selaput daranya robek seperti diperkosa, sungguh suatu mimpi buruk dalam dunia olahraga.
Dunia olahraga yang menjunjung sportivitas, lalu mencoret seorang atlet berdasarkan keperawanan sungguh suatu perbuatan yang tidak sportif dan melanggar hak asasi manusia, kode etik, serta diskriminasi terhadap perempuan. Seperti kita tahu, Indonesia sudah meratifikasi The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), yang jelas mengatakan bahwa tes keperawanan itu melanggar hak asasi manusia.
Masyarakat kita masih sering menganggap bahwa keperawanan itu sebagai bagian dari standardisasi moral yang ditetapkan untuk perempuan. Keperawanan selalu didengungkan sebagai kesucian seorang perempuan dan kelakuan baik bagi seorang perempuan. Norma ideal perempuan yang terus didengungkan secara turun-temurun. Perempuan yang ideal adalah perempuan yang perawan. Padahal, apakah laki-laki diberikan stempel sebagai laki-laki yang baik adalah laki-laki yang perjaka? Ini merupakan stigma bagi perempuan karena hanya perempuan yang dilekatkan pada label tersebut.
Wacana keperawanan ini sering menjadikan perempuan menjadi rendah diri. Sifat baik misalnya selalu dilekatkan pada laki-laki: tidak perjaka, tidak masalah. Toh, tidak pernah ditanyakan tentang hal ini. Namun untuk perawan, ini hal-hal yang selalu dilekatkan: tidak perawan itu bermasalah. Laki-laki pasti tidak mau dengan perempuan yang tidak perawan. Hal-hal inilah yang selalu melekat dan membentuk konstruksi besar dalam masyarakat.
Sifat baik yang selalu dilekatkan pada laki-laki akhirnya membentuk laki-laki sebagai kelompok yang unggul, yaitu kelompok yang selalu mempertanyakan keperawanan, karena mereka merasa superior. Sedangkan kelompok perempuan tidak boleh mempertanyakaan keperjakaan karena kelompok perempuan sudah diidentifikasi sebagai kelompok inferior, bersalah dan tidak boleh bertanya macam-macam.
Feminis Inge Broverman menyatakan bahwa stereotipe seperti ini akhirnya meluas dalam kehidupan. Setelah stereotipe, gambaran lain yaitu terjadinya subordinasi pada perempuan. Subordinasi terjadi karena perempuan selalu diposisikan inferior dan penakut.
Seharusnya orang mau melihat apa yang terjadi pada perempuan, dan tidak langsung memberikan stereotipe dan menyubordinasinya. Jika keperawanan memang dianggap penting, lalu pertanyaannya, hal ini penting buat siapa? Buat perempuan atau masyarakat atau laki-laki? Bagaimana dengan perempuan yang selalu dilekatkan dengan stempel yang perawan ini? Apakah ia nyaman dan jadi terselamatkan hidupnya karena label atau stigma ini?
Stigma keperawanan sudah memasuki dunia olahraga dan ini menjadi mimpi buruk buat atlet perempuan. Para atlet perempuan tidak dinilai kemampuannya dalam olahraga atau prestasinya tetapi dari selaput dara. Nilai-nilai moral yang dilekatkan akan memengaruhi perkembangan dunia olahraga khususnya untuk perempuan. Untuk itu, kita harus menolak syarat keperawanan pada atlet perempuan. Seorang atlet seharusnya dinilai dari keterampilannya, kemampuan olahraganya, prestasinya, bukan selaput daranya.
Post a Comment